Fana’ dan Baqa’
Pendahuluan
Tasawuf
merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan
perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia yang dapat
menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal
tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan
jiwa). Dimana hal itu merupakan syarat kelayakan seseorang untuk
menghadap Rabb-nya Yang Maha agung dan Mahakuasa.
Upaya
inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapan-tahapan pengendalian
diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya,
yang menurut ilmu tasawuf dikenal dengan al-maqomat dan al-ahwaal.
Dimana tingkatan-tingkatan dikategorikan untuk menunjukkan kedekatan
seseorang dengan Tuhan-nya dan al-Ahwal (Keadaan) yang menggambarkan
keadaan hati seseorang sebagai bentuk kedekatannya terhadap Tuhan-nya.
Dalam
rangkaian itu ada satu tingkat sebelum tingkat tertinggi, yaitu fana’
dan baqa’. Merupakan keadaan (haal) seseorang yang meleburkan diri
dengan sifat Tuhan serta penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan dan menetap dengan keadaan itu.
Al Bustami dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana dan baqa' untuk mencapai ittihad dengan Tuhan[1].
Sebagai penyebar dan pembawa ajaran fana, baqa', dan ittihad, dalam
tasawuf adalah Abu Yazid al-Bustami yang dilahirkan di Bistam (Persia)
pada tahun 874 M dan meninggal dalam usia 73 tahun. Sebelum ia mendalami
Tasawwuf terlebih ia mempelajari ilmu fiqih terutama madzhab Hanafi.
Pembahasan
Pengertian
1. Fana’
Dari
segi bahasa, fana' berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau
lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan
moral yang luhur. Dalam hal ini abu bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H / 988
M) mendefinisikannya : "hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang,
tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan
segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia
telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu [2].
Fana
artinya hilang, hancur, sehingga dapat dipahami bahwa fana merupakan
proses menghancurkan diri sebagai seorang sufi agar dapat bersatu dengan
Tuhan.yaitu dengan hilangnya
kesadaran seseorang terhadap keberadaan dirinya dan alam sekelilingnya.
Hal ini dapat terjadi karena latihan yang berat dan perjuangan yang
cukup panjang dalam pendakian rohani [3].
Dalam hal ini ada juga pembagian Fana’ itu sendiri menjadi beberapa macam dengan lebih spesifis [4]:
a) Fana Al-Fana
Berarti hilangnya kesadaran akan hilangnya kesadaran itu. Orang yang dalam keadaan fana' tidak tau bahwa ia dalam keadaan fana'.
b) Fana' an nafsi
Penghancuran tentang adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya. Berarti hilangnya kesadaran seseorang akan wujud dirinya. Apabila
seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak disadarinya
wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan ketika
itu ia bersatu dengan Tuhan secara ruhani.[5]
c) Fana fi Mahbub
Berarti lebur ke dalam yang dicintai (Tuhan), termasuk proses penghancuran sifat-sifat basyariah.
2. Baqa’
Adapun
baqa' berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah tetap.
Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat
terpuji kepada Allah. Paham baqa' tidak dapat dipisahkan dengan paham
fana' karena keduanya merupakan paham yang berpasangan. Jika seorang
sufi sedang mengalami fana', ketika itu juga ia sedang menjalani baqa'[6].
Baqa’
merupakan satu paket dengan fana’. Dimana ketika seseorang telah
berpindah dari sifat manusia menuju sifat ke-Tuhanan, maka dia akan
menetap pada sifat ke-Tuhanan tersebut. Tidak berubah-ubah lagi, karena
sifat Tuhan adalah sifat puncak kesempurnaan.
Setelah
mengetahui pengertian Fana dan Baqa, perlu diketahui tujuan Fana dan
Baqa adalah mencapai penyatuan secara ruhaniyah dan bathiniyiah dengan
Tuhan sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Tatkala Fana’ dan Baqa’
berjalan selaras dan sesuai dengan fungsinya maka seorang Sufi merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan yang mencintai dan
dicintai telah menjadi satu.[7]
Sedangkan
kedudukan Fana dan Baqa merupakan hal, karena hal yang demikian itu
terjadi terus menerus dan juga karena dilimpahkan oleh Tuhan. Fana
merupakan keadaan dimana seseorang hanya menyadari kehadiran Tuhan dalam
dirinya, dan kelihatannya lebih merupakan alat, jembatan atau maqam
menuju ittihad (penyatuan Rohani dengan Tuhan). Tatkala Fana dan Baqa
berjalan selaras dan sesuai dengan fungsinya maka seorang Sufi merasa
dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan yang mencintai dan
dicintai telah menjadi satu
Beberapa pemahaman sufi tentang fana' dan baqa':
o Jika kejahilan dari seseorang hilang (fana'), yang akan tinggal (baqa') ialah pengetahuannya
o Jika seseorang dapat menghilangkan maksiatnya, yang akan tinggal ialah takwanya
o Siapa yang menghancurkan sifat-sifat buruk tinggal baginya sifat-sifat baik
o Siapa yang menghilangkan sifat-sifatnya, ia akan mempunyai sifat-sifat Tuhan [8]
Fana dan Baqa dalam pandangan Al-Qur’an
Fana dan Baqa merupakan jalan menuju Tuhan, hal ini sejalan dengan firman Allah yang berbunyi :
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa (fana’). Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”[9] .
“Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam
beribadat kepada Tuhannya.”[10]
Ayat
tersebut memberi petunjuk bahwa Allah swt. telah memberi peluang kepada
manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniyah atau bathiniyah, ada dua kewajiban yang mesti dilaksanakan untuk mencapai liqa’ Allah Pertamanya
mengerjakan amalan sholeh dengan menghilangkan semua- sifat-sifat yang
tercela dan menetapkan dengan sifat-sifat yang terpuji yaitu Takhali dan Tahali.
Yang
caranya antara lain dengan beramal shaleh, dan beribadat semata-mata
karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak buruk (Fana),
meninggalkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan
sifat-sifat Allah, yang kemudian ini tercakup dalam konsep Fana dan
Baqa.
Pada zaman Rasulullah SAW. Kaum Muslimin sentiasa mengharapkan kedatangan wahyu untuk memberi petunjuk, bimbingan dan teguran.
Karena dahulu tiap kali turun Wahyu kepada Rasulullah SAW, maka yang
terjadi adalah sebuah perubahan pada dirinya serta suasana disekelilingnya. Mereka fana di dalam wahyu hingga tidak akan ada perkataan yang menguasai mereka melebihi perkataan Allah SWT. Mereka baqa’ di dalam perintah wahyu yaitu kehambaan kepada Allah SWT hingga tidak akan ada yang menguasai mereka melainkan peraturan Allah SWT. Itulah umat Nabi Muhammad SAW. yang fana dalam wahyu dan baqa dalam ubudiah (kehambaan).
Kesimpulan
Ada satu tingkat sebelum mencapai hakikat atau ma’rifat sebagai tingkatan yang tertinggi, yaitu fana’ dan baqa’. Merupakan keadaan (haal) seseorang yang meleburkan diri dengan sifat Tuhan serta penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan dan menetap dengan keadaan itu. Hakikat tidak akan muncul dan sampai sewajarnya jika syariat dan thorikat belum benar kedudukannya, ibarat huruf-huruf tidak akan tertulis dengan betul jika pena tidak betul keadaannya.[11]
Referensi :
· Al-Qur’an
· Van Hoeve, Enseklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru, 2001
· Abu Bakar Muhammad Al-Kalabadzi, At-Ta'arruf li Madzhab Ahl at-Tashawwuf, Isa Al-Babi Al-Halabi, 1960,
· Drs. Asmaran As., M.A., Pengantar Studi Tasawuf, Rajawali Pers, 1996.
· Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.
· http://www.angelfire.com/journal/suluk/fana.html
[1] Van Hoeve, Enseklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru, 2001, hlm. 263
[2] Abu Bakar Muhammad Al-Kalabadzi, At-Ta'arruf li Madzhab Ahl at-Tashawwuf, Isa Al-Babi Al-Halabi, 1960, hlm. 147
[4] Ibid, 386
[5] http://one.indoskripsi.com/category/mata-kuliah/sejarah-pemikiran-islam
[6] Drs. Rosihan Anwar, M.Ag dan Drs. Mukhtar Solihin, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, hlm. 132
[10] Q.S. Al-Kahfi : 110.
KEMBALI KE Santri Suwung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar