Justin Bieber

Selasa, 16 April 2013

Makalah Problem Hadits Maudhu'

Makalah Problem Hadits Maudhu'



PROBLEM HADITS MAUDHU’
MAKALAH
Disusn Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Ulumul Hadits
Dosen pengampu: Ahmad Zuhrudin, M.Si.
Disusun oleh:
Habib Abdullah          (123111076)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
PROBLEM HADITS MAUDHU’
       I.            PENDAHULUAN
Hadits maudhu’ ini sebenarnya tidak layak untuk disebut sebagai sebuah hadits, karena ia sudah jelas bukan sebuah hadits yang bisa disandarkan pada Rasulullah SAW. Lain halnya dengan hadits dha’if yang diperkirakan masih ada kemungkinan ittishal pada Nabi. Hadits maudhu’ ini berbeda dengan hadits dha’if. Hadits maudhu’ sudah ada kejelasan akan kepalsuannya sementara hadits dha’if belum jelas, hanya samar-samar. Sehingga karena kesamarannya ini, hadits tersebut disebut dengan dha’if. Tapi ada juga yang memasukkan pembahasan hadits maudhu’ ini kedalam hadits dha’if.
Berbagai hadits maudhu’ dan dha’if ini, sebagaimana hadits shahih telah banyak tersebar dan beredar dalam masyarakat, dan diaku sebagai sebuah hadits yang berasal dari Nabi. Disinilah kemudian hadits maudhu’ perlu dimasukkan kedalam kelompok kajian ilmu hadits ini, meskipun sebenarnya ia bukanlah sebuah hadits.
    II.            RUMUSAN MASALAH
1.      Apa itu Hadits Maudhu’?
2.      Bagaimana Sejarah Munculnya Hadits Maudhu’?
3.      Apa Saja Faktor-Faktor Munculnya Hadits Maudhu’?
4.      Bagaimana Ciri-Ciri Hadits Maudhu’?
5.      Bagaimana Hukum Membuat dan Meriwayatkan Hadits Maudhu’?
 III.            PEMBAHASAN
1.      Pengertian Hadits Maudhu’
Apabila ditinjau secara bahasa, hadits maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari وَضَعَ - يَضَعُ  . kata وَضَعَ memiliki beberapa makna, antara lain ‘menggugurkan’, misalnya kalimat وَضَعَ الْجِنَايَةَ عَنْهُ  (Hakim menggugurkan hukuman dari seseorang). Juga bermakna التَّرْكُ (meninggalkan), misalnya ungkapan اِبِلٌ مَوْضُوْعَةٌ   (Unta yang ditinggalkan di tempat pengembalanya). Selain itu, juga bermakna اللإَفْتِرَاءُ وَالْإِخْتِلَافُ (Mengada-ngada dan membuat-buat), misalnya kalimat وَضَعَ فُلاَنٌ هَذِهِ الْقِصَّةَ (Fulan membuat-buat dan mengada-ngada kisah itu).[1]
Sedangkan pengertian hadits maudhu’ menurut istilah adalah:
مَا نُسِبَ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِخْتِلَاقًا وَكَذْبًا مِمَّا لَمْ يَقُلْهُ اَوْ يَفْعَلْهُ اَوْ يُقِرُهُ وَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ الْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ
“Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW. secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapkan”.
Ada juga yang mengatakan:
هُوَ الْمُخْتَلَعُ الْمَصْنُوْعُ الْمَنْسُوْبُ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَوْرًا وَبُهْتَانًا سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ عَمْدًا اَوْ خَطَأً
“Hadits yang dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak”.
Jadi, hadits maudhu’ itu adalah bukan hadits yang bersumber dari Rasul atau dengan kata lain bukan hadits rasul, akan tetapi suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan kemudian dinisbatkan kepada Rasul.[2]
2.      Sejarah Munculnya Hadits Maudhu’
Para ulama’ berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits. Berikut ini akan dikemukakan pendapat mereka, yakni:
a.         Menurut Ahmad Amin, bahwa hadits maudhu’ telah trerjadi pada masa Rasulullah SAW. masih hidup. Alasan yang dijadikan argumentasi adalah sabda Rasulullah.
 مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa berbuat dusta terhadap diriku (mengatakan apa yang tidak aku tidak mengatakannya), maka hendaklah ia menempati tempat duduknya didalam neraka”.
                        Menurutnya, dengan dikeluarkannya sabda tersebut, Rasulullah SAW. mengira telah ada pihak-pihak yang ingin berbuat bohong kepada dirinya. Oleh karena itu, hadits tersebut merupakan respon terhadap fenomena yang ada sa’at itu, yang berarti menggambarkan bahwa kemungkinan besar pada zaman Rasulullah SAW. telah terjadi pemalsuan hadits. Sehingga Rasulullah SAW. mengancam kepada para pihak yang membuat hadits palsu.[3]
b.         Menurut Jumhur Al-Muhadditsin bahwa pemalsuan hadits itu terjadi pada masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib, mereka beralasan bahwa keadaan hadits sejak zaman Nabi hingga sebelum terjadinya pertentangan antara Ali ibn Abi Thalib dengan mu’’awiyah ibn Abi Sufyan (w. 60 H/680 M) masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan. Zaman Nabi jelas tidak mungkin terjadi pemalsuan hadits. Sedangkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar ibn Khattab, dan Utsman ibn Affan juga belum terjadi pemalsuan hadits. Hal ini dapat dibuktikan betapa gigih, hati-hati, dan waspada mereka terhadap hadits. Sebagai bukti dapat dikemukakan bahwa Abu Bakar sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadits, bahkan beliau pernah membakar catatan-catatan hadits miliknya. Putri beliau, Siti Aisyah menyatakan bahwa ayahnya telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadits. Sikap Abu Bakar ini disebabkan karena beliau khawatir salah dalam meriwayatkan hadits.[4]
3.      Faktor-Faktor Munculnya Hadits Maudhu’
Terdapat berbagai macam faktor yang menyebabkan hadits maudhu’ ini muncul, antara lain sebagai berikut:
a.         Pertentangan Politik dalam Soal Pemilihan Khalifah
Yaitu pertentangan antara golongan Syi’ah dan golongan yang fanatik kepada Mu’awiyah. Diantara hadits yang dibuat golongan Syi’ah itu. Ialah:
مَنْ اَرَادَ اَنْ يَنْظُرَ اِلَى اَدَمَ فِيْ عِلْمِهْ وَاِلَى نُوْحٍ فِيْ تَقْوَاهُ وَاِلَى اِبْرَاهِيْمَ فِيْ حِلْمِهِ وَاِلَى مُوْسَى فِيْ هَيْبَتِهِ وَاِلَى عِيْسَى فِيْ عِبَادَتِهِ فَلْيَنْظُرْ اِلَى عَلِيٍّ
“Barang siapa ingin melihat kepada Adam tentang ketinggian ilmunya, ingin melihat kepada Nuh tentang ketaqwaannya, ingin melihat kepada Ibrahim tentang kebaikan hatinya, ingin melihat kepada Musa kehebatannya, ingin melihat kepada Isa tentang ‘ibadahnya, maka hendaklah ia melihat kepada Ali”.[5]
Golongan yang fanatik kepada Mu’awiyah membuat pula hadits yang menerangkan keutamaannya. Mereka mendakwa bahwa Nabi bersabda:
الْاُمَنَاءُ ثَلَاثَةٌ : اَنَا وَجِبْرِيْلُ وَمُعَاوِيَةُ
“Orang yang kepercayaan hanya tiga orang saja: Saya, Jibril dan Mu’awiyah”.[6]
b.         Adanya Kesengajaan dari Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam
Golongan ini adalah terdiri dari golongan Zindiq yang senantiasa menyimpan dendaam terhadap agama islam. Mereka tidak mampu melawan kekuatan islam secara terbuka maka menhambil jalan yang buruk ini. Mereka menciptakan sejumlah besar hadits maudhu’ dengan tujuan merusak agama islam.
Diantara hadits yang maudhu’ yang diciptakan oleh orang-orang Zindiq tersebut adalah:
يَنْزِلُ رَبُّنَا عَشِيَّةً عَلَى جَمَلٍ اَوْ رَقٍ, يُصَافِحُ الرُّكْبَانَ وَيُعَانِقَ الْمُشَاةَ
“Tuhan kami turun dari langit pada sore hari, di ‘Arafah dengan berkendaraan unta kelabu, sambil berjabatan tangan dengan orang-orang yang berkendaraan dan memeluk orang-orang yang sedang berjalan”.[7]
c.         Mempertahankan Maszhab
Para pengikut mazhab fiqih dan pengikut ulama kalam, yang bodoh dan dangkal ilmu agamanya, membuat pula hadits-hadits palsu untuk menguatkan paham pendirian imamnya.
Mereka yang fanatik terhadap mazhab Abu Hanifah yang menganggap tidak sah shalat mengangkat kedua tangan dikala shalat, membuat hadits maudhu’ sebagai berikut:
مَنْ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الصَّلَاةِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ
“Barang siapa menggangkat kedua tangannya didalam shalat, tidak sah shalatnya”.[8]
d.        Membangkitkan Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri kepada Allah
Banyak diantara ulama’ yang mebuat hadits palsu dengan dan bahkan mengira usahanya itu benar dan merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah, serta menjunjung tinggi agama-Nya. Mereka mengatakan “kami berdosa semata-mata untuk menjunjung tinggi nama Rasulullah dan bukan sebaliknya”. Nuh bin Abi Maryam telah membuat hadits berkenaan dengan fadhilah membaca surat-surat tertentu dalam Al-Qur’an. Ghulam Al-Kahail (dikenal ahli zuhud) membuat hadits tentang keutamaan wirid dengan maksud memperhalus kalbu manusia.[9]
e.         Menjilat Para Penguasa Untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah
Ghiyats ibn Ibrahim pada suatu hari masuk kemahligai Al Mahdi yang sedang menyambung burung merpati, maka berkatalah ia : Bersabda Nabi :
لَا سَبَقَ اِلَّا فِيْ نَصْلٍ اَوْ خَفٍّ اَوْ حَافِرٍ اَوْ جَنَاحٍ
“Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu anak panah, mengadu unta, mengadu kuda, atau mengadu burung”.
            Perkataan yang terakhir ini (au janaahin) adalah tambahan dari Ghiyats itu.[10]
4.      Ciri-Ciri Hadits Maudhu’
Para ulama’ Muhaditsin, disamping membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui sahih, hasan, atau dhaif suatu hadits, mereka juga menentukan ciri-ciri untuk mengetahui ke-maudhu’-an suatu hadits.
Ke-maudhu’-an suatu hadits dapat dilihat pada ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.[11]
a.         Ciri-Ciri yang Terdapat pada Sanad
Banyak benar tanda-tanda kemaudhu’an hadits pada sanad, dibawah ini kami terangkan yang penting-penting benar saja.
1)      Perawi itu terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tiada diriwayatkan hadits yang ia riwayatkan itu, oleh selainnya, yang kepercayaan.
2)      Pengakuan perawi sendiri, Abu ‘Ishmah Nuh ibn Abi Maryam mengaku sendiri bahwa ia telah mewadla’kan hadits mengenai keutamaan surat-surat Al-Qur’an. Dan sebagai akuan ‘Abdul Karim ibn Abil ‘Auja yang mengaku telah membuat 4000 hadits, yang mengenai hukum halal, haram.[12]
3)      Kenyataan sejarah, mereka tidak mungkin bertemu, misalnya pengakuan dari seorang rawi bahwa ia menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau ia lahir sesudah guru tersebut meninggal, misalnya ketika Ma’mun ibn Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia menerima hadits dari Hisyam ibn Amr kepada Ibnu Hibban maka Ibnu Hibban bertanya, “Kapan engkau pergi ke Syam?”. Ma’mun menjawab, “Pada tahun 250 H”. Mendengar itu, Ibnu Hibban berkata, “Hisyam meninggal dunia pada tahun 245 H”.
4)      Keadaan rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadits maudhu’. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim, kala ia berkunjung ke rumah Al Mahdi yang sedang bermain burung merpati, yang berkata:
لَا سَبَقَ اِلَّا فِيْ نَصْلٍ اَوْ خَفٍّ اَوْ حَافِرٍ اَوْ جَنَاحٍ
“Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu anak panah, mengadu unta, mengadu kuda, atau mengadu burung”.
Ia menambahkan kata “au janaahin” (atau mengadu burung), untuk menyenangkan Al Mahdi, lalu Al Mahdi memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata, “Aku bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW.”, lalu ia memerintahkan untuk menyembelih merpati itu. Tingkah laku Ghiyats semacam ini menjadi qarinah untuk menetapkan kemaudhu’an suatu hadits.[13]
b.         Ciri-Ciri yang Terdapat pada Matan
Terdapat banyak pula ciri-ciri hadits maudhu’ yang terdapat dalam matan, diantaranya sebagai berikut:
1)      Buruknya redaksi hadits, padahal Nabi Muhammad SAW. adalah seorang yang sangat fasih dalam berbahasa, santun eanak dirasakan. Dari redaksi yang jelek ini akan berpengaruh kepada makna ataupun maksud dari hadits Nabi SAW. kecuali bila si perawi menjelaskan bahwa hadits itu benar-benar datang dari Nabi SAW.[14]
2)      Maknanya menyalahi sunah mutawatir, umpamanya hadits
اِذَا حُدِّثْتُمْ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يُوَافِقَ الْحَقَّ فَخُذُوْا بِهِ, حَدَّثْتُ بِهِ, اَمْ لَمْ اُحَدِّثْ
“Apabila diriwayatkan kepadamu suatu hadits yang sesuai dengan kebenaran, ambillah akan dia, ada aku menerangkannya, ataupun tidak”.
Hadits ini berlawanan dengan hadits mutawatir:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa berbuat dusta terhadap diriku (mengatakan apa yang tidak aku tidak mengatakannya), maka hendaklah ia menempati tempat duduknya didalam neraka”.(H.R. Bukhari Muslim dan lain-lain).[15]
3)      Maknanya bertentangan dengan keterangan Al-Qur’an. Contoh hadits maudhu’ yang maknanya bertentangan dengan Al-Qur’an adalah hadits
وَلَدُ الزِّنَا لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ اِلَى سَبْعَةَ اَبْنَاءٍ
“Anak zina itu tidak dapat masuk syurga sampai tujuh turunan”
Makna hadits ini bertentangan dengan kandungan Q.S. Al-An’am [6]: 164, yaitu:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ اُخْرَى. (الأنعام: 164 )
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”. (Q.S. Al-An’am : 164).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa dosa seorang tidak dapat dibebankan kepada orang lain, seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.[16]
4)      Karena menyalahi peraturan-peraturan akal terhadap Allah, adakala menetapkan Allah suci dan serupa dengan makhluk. Lantaran ini, kita hukum kepalsuan hadits:
اِنَّ اللهَ خَلَقَ الْفَرَسَ فَاَجْرَاهَا فَعَرِقَتْ فَخَلَقَ نَفْسَهَا مِنْهَا
“Sesungguhnya Allah menjadikan kuda betina, lalu Ia memacukannya. Maka berpeluhlah kuda itu, lalu Tuhan menjadikan diri-Nya dari kuda itu”.
5)      Karena mengandung dongeng-dongeng yang tidak dibenarkan oleh akal, seperti hadits,
الدِّيْكُ الْاَبْيَضُ حَبِيْبِيْ وَحَبِيْبُ حَبِيْبِيْ
“Ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku Jibril”.[17]
6)      Menerangkan suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat kecil, atau siksa yang saangat besar terhadap suatu perbuatan yang kecil.
Contohnya yaitu:
مَنْ قَالَ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ خَلَقَ اللهُ مِنْ تِلْكَ الْكَلِمَةِ طَائِرًا لَهُ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لُغَةٍ يَسْتَغْفِرُوْنَ لَهُ.
“Barang siapa mengucapkan tahlil (La ilaha illallah) maka Allah menciptakan dari kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap lisan mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya”.[18]
5.      Hukum Membuat dan Meriwayatkan Hadits Maudhu’
Orang yang telah mengetahui bahwa suatu hadits itu maudhu’ (palsu), tiada dibolehkan sekali-kali ia meriwayatkannya dengan menyandarkan kepada Rasulullah SAW. kecuali jika ia terangkan kepalsuan hadits tersebut.
Nabi SAW. bersabda:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa berbuat dusta terhadap diriku (mengatakan apa yang tidak aku tidak mengatakannya), maka hendaklah ia menempati tempat duduknya didalam neraka”.(H.R. Bukhari Muslim dan lain-lain).
Nabi SAW. bersabda pula:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيْثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ, فَهُوَ اَحَدُ الْكَذَّابِيْنَ
"Barang siapa menceritakan dari padaku sesuatu hadits, padahal ia tahu bahwa itu bukan haditsku, maka termasuklah ia kedalam orang-orang yang dusta”.(H.R. Muslim dari Samurah ibn Jundub dan Al Mughierah ibn Syu’bah).[19]
Umat islam telah sepakat bahwa hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’ dengan sengaja adalah haram secara muthlaq, bagi mereka yang sudah mengetahui hadits itu palsu. Adapun bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberitahu kepada orang bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan sesudah meriwayatkan atau membacanya), tidak ada dosa atasnya.
Mereka yang tidak tau sama sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka mengamalkan makna hadits tersebut karena tidak tahu, tidak ada dosa atasnya. Akan tetapi, sesudah mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadits yang diceritakan atau amalkan itu adalah palsu, hendaklah segera dia tinggalkannya, kalau tetap dia amalkan, sedangkan dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali, hukumnya tidak boleh.[20]
 IV.            KESIMPULAN
Hadits maudhu’ adalah bukan hadits yang bersumber dari Rasul atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan kemudian dinisbatkan kepada Rasul.
Ada perbedaan pendapat tentang kapan munculnya hadits maudhu’, yaitu menurut Ahmad Amin, bahwa hadits maudhu’ telah trerjadi pada masa Rasulullah SAW. masih hidup. Dan menurut Menurut Jumhur Al-Muhadditsin bahwa pemalsuan hadits itu terjadi pada masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib, mereka beralasan bahwa keadaan hadits sejak zaman Nabi hingga sebelum terjadinya pertentangan antara Ali ibn Abi Thalib dengan mu’’awiyah ibn Abi Sufyan (w. 60 H/680 M) masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan.
Terdapat berbagai macam faktor yang menyebabkan hadits maudhu’ ini muncul, antara lain sebagai berikut:
a.       Pertentangan Politik dalam Soal Pemilihan Khalifah
b.      Adanya Kesengajaan dari Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam
c.       Mempertahankan Maszhab dalam Masalah Fiqih dan Masalah Kalam
d.      Membangkitkan Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri kepada Allah
e.       Menjilat Para Penguasa Untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah
Ke-maudhu’-an suatu hadits dapat dilihat pada ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.
Adapun hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’ yaitu Umat islam telah sepakat bahwa hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’ dengan sengaja adalah haram secara muthlaq, bagi mereka yang sudah mengetahui hadits itu palsu. Adapun bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberitahu kepada orang bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan sesudah meriwayatkan atau membacanya), tidak ada dosa atasnya.
    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan mengenai Problem Hadits Maudhu’. Kami sadar dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan dalam hal isi maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberi manfa’at bagi pembacanya umumnya, khususnya bagi pemakalah. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Sholahudin, M. Agus, Ulumul Hadits, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Ash Shiddiqy, T.M. Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
              , Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1974.


[1] M. Agus Solahudin, Ulumul Hadits, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), hal. 171.
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2003), hal. 176-177.
[3] Ibid., hal. 177-178
[4] Ibid., hal. 179-180.
[5] T. M. Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang,1974), hal. 247.
[6] Ibid. hal. 248.
[7] M. Agus Solahudin, Op. Cit., hal. 178-179.
[8] Ibid., hal. 180.
[9] Munzier Suparta, Op. Cit., hal. 187.
[10] T. M. Hasbi Ash Shiddiqy, Op. Cit., hal 255
[11] M. Agus Solahudin, Op. Cit., hal. 182.
[12] T. M. Hasbi Ash Shiddiqy, Op. Cit., hal. 237-238.
[13] M. Agus Solahudin, Op. Cit., hal. 182.
[14] Munzier Suparta, Op. Cit., hal. 190.
[15] T. M. Hasbi Ash Shiddiqy, Op. Cit., hal. 242.
[16] M. Agus Solahudin, Op. Cit., hal. 185.
[17] T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Diroyah Hadits (Jilid I),(Jakarta: N. V. Bulan Bintang, 1981), hal. 370.
[18] M. Agus Solahudin, Op. Cit., hal. 186.
[19] T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Diroyah Hadits, Op. Cit., hal. 361-362.
[20] M. Agus Solahudin, Op. Cit., hal. 187.

Kembali ke Santri Suwung

1 komentar:

  1. Stainless Steel Magnets - titanium arts
    Ironing the https://septcasino.com/review/merit-casino/ Stainless Steel Magnets 출장안마 (4-Pack). Made in Germany. The dental implants Titanium Arts Stainless Steel Magnets 바카라 사이트 are an alloy made of steel in stainless steel septcasino

    BalasHapus