Makalah Problem Hadits Maudhu'
PROBLEM
HADITS MAUDHU’
MAKALAH
Disusn
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah: Ulumul Hadits
Dosen
pengampu: Ahmad Zuhrudin, M.Si.
Disusun
oleh:
Habib
Abdullah (123111076)
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
PROBLEM
HADITS MAUDHU’
I.
PENDAHULUAN
Hadits maudhu’ ini sebenarnya tidak layak untuk disebut
sebagai sebuah hadits, karena ia sudah jelas bukan sebuah hadits yang bisa
disandarkan pada Rasulullah SAW. Lain halnya dengan hadits dha’if yang
diperkirakan masih ada kemungkinan ittishal pada Nabi. Hadits maudhu’ ini
berbeda dengan hadits dha’if. Hadits maudhu’ sudah ada kejelasan akan
kepalsuannya sementara hadits dha’if belum jelas, hanya samar-samar. Sehingga
karena kesamarannya ini, hadits tersebut disebut dengan dha’if. Tapi ada juga yang
memasukkan pembahasan hadits maudhu’ ini kedalam hadits dha’if.
Berbagai hadits maudhu’ dan dha’if ini, sebagaimana
hadits shahih telah banyak tersebar dan beredar dalam masyarakat, dan diaku
sebagai sebuah hadits yang berasal dari Nabi. Disinilah kemudian hadits maudhu’
perlu dimasukkan kedalam kelompok kajian ilmu hadits ini, meskipun sebenarnya
ia bukanlah sebuah hadits.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa
itu Hadits Maudhu’?
2. Bagaimana
Sejarah Munculnya Hadits Maudhu’?
3. Apa
Saja Faktor-Faktor Munculnya Hadits Maudhu’?
4. Bagaimana
Ciri-Ciri Hadits Maudhu’?
5. Bagaimana
Hukum Membuat dan Meriwayatkan Hadits Maudhu’?
III.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hadits Maudhu’
Apabila ditinjau secara bahasa, hadits
maudhu’ merupakan bentuk isim maf’ul dari وَضَعَ - يَضَعُ .
kata وَضَعَ
memiliki beberapa makna, antara lain ‘menggugurkan’, misalnya kalimat وَضَعَ الْجِنَايَةَ عَنْهُ (Hakim menggugurkan
hukuman dari seseorang). Juga bermakna التَّرْكُ (meninggalkan),
misalnya ungkapan اِبِلٌ مَوْضُوْعَةٌ (Unta yang ditinggalkan di tempat
pengembalanya). Selain itu, juga bermakna اللإَفْتِرَاءُ
وَالْإِخْتِلَافُ
(Mengada-ngada dan membuat-buat), misalnya kalimat وَضَعَ
فُلاَنٌ هَذِهِ الْقِصَّةَ
(Fulan membuat-buat dan mengada-ngada kisah itu).[1]
Sedangkan pengertian hadits maudhu’
menurut istilah adalah:
مَا
نُسِبَ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِخْتِلَاقًا وَكَذْبًا
مِمَّا لَمْ يَقُلْهُ اَوْ يَفْعَلْهُ اَوْ يُقِرُهُ وَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ الْمُخْتَلَقُ
الْمَصْنُوْعُ
“Hadits yang
disandarkan kepada Rasulullah SAW. secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau
tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapkan”.
Ada juga yang mengatakan:
هُوَ
الْمُخْتَلَعُ الْمَصْنُوْعُ الْمَنْسُوْبُ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ زَوْرًا وَبُهْتَانًا سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ عَمْدًا اَوْ خَطَأً
“Hadits yang
dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbatkan kepada
Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak”.
Jadi, hadits maudhu’ itu adalah bukan
hadits yang bersumber dari Rasul atau dengan kata lain bukan hadits rasul, akan
tetapi suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu
dengan suatu alasan kemudian dinisbatkan kepada Rasul.[2]
2. Sejarah Munculnya Hadits Maudhu’
Para
ulama’ berbeda pendapat tentang kapan mulai terjadinya pemalsuan hadits.
Berikut ini akan dikemukakan pendapat mereka, yakni:
a.
Menurut Ahmad
Amin, bahwa hadits maudhu’ telah trerjadi pada masa Rasulullah SAW. masih
hidup. Alasan yang dijadikan argumentasi adalah sabda Rasulullah.
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang
siapa berbuat dusta terhadap diriku (mengatakan apa yang tidak aku tidak
mengatakannya), maka hendaklah ia menempati tempat duduknya didalam neraka”.
Menurutnya, dengan dikeluarkannya sabda
tersebut, Rasulullah SAW. mengira telah ada pihak-pihak yang ingin berbuat
bohong kepada dirinya. Oleh karena itu, hadits tersebut merupakan respon
terhadap fenomena yang ada sa’at itu, yang berarti menggambarkan bahwa
kemungkinan besar pada zaman Rasulullah SAW. telah terjadi pemalsuan hadits.
Sehingga Rasulullah SAW. mengancam kepada para pihak yang membuat hadits palsu.[3]
b.
Menurut Jumhur
Al-Muhadditsin bahwa pemalsuan hadits itu terjadi pada masa kekhalifahan Ali
ibn Abi Thalib, mereka beralasan bahwa keadaan hadits sejak zaman Nabi hingga
sebelum terjadinya pertentangan antara Ali ibn Abi Thalib dengan mu’’awiyah ibn
Abi Sufyan (w. 60 H/680 M) masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan. Zaman Nabi
jelas tidak mungkin terjadi pemalsuan hadits. Sedangkan pada masa kekhalifahan
Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar ibn Khattab, dan Utsman ibn Affan juga belum
terjadi pemalsuan hadits. Hal ini dapat dibuktikan betapa gigih, hati-hati, dan
waspada mereka terhadap hadits. Sebagai bukti dapat dikemukakan bahwa Abu Bakar
sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadits, bahkan beliau pernah membakar
catatan-catatan hadits miliknya. Putri beliau, Siti Aisyah menyatakan bahwa
ayahnya telah membakar catatan yang berisi sekitar lima ratus hadits. Sikap Abu
Bakar ini disebabkan karena beliau khawatir salah dalam meriwayatkan hadits.[4]
3. Faktor-Faktor Munculnya Hadits Maudhu’
Terdapat
berbagai macam faktor yang menyebabkan hadits maudhu’ ini muncul, antara lain
sebagai berikut:
a.
Pertentangan Politik
dalam Soal Pemilihan Khalifah
Yaitu
pertentangan antara golongan Syi’ah dan golongan yang fanatik kepada Mu’awiyah.
Diantara hadits yang dibuat golongan Syi’ah itu. Ialah:
مَنْ
اَرَادَ اَنْ يَنْظُرَ اِلَى اَدَمَ فِيْ عِلْمِهْ وَاِلَى نُوْحٍ فِيْ تَقْوَاهُ
وَاِلَى اِبْرَاهِيْمَ فِيْ حِلْمِهِ وَاِلَى مُوْسَى فِيْ هَيْبَتِهِ وَاِلَى عِيْسَى
فِيْ عِبَادَتِهِ فَلْيَنْظُرْ اِلَى عَلِيٍّ
“Barang siapa ingin melihat
kepada Adam tentang ketinggian ilmunya, ingin melihat kepada Nuh tentang
ketaqwaannya, ingin melihat kepada Ibrahim tentang kebaikan hatinya, ingin
melihat kepada Musa kehebatannya, ingin melihat kepada Isa tentang ‘ibadahnya,
maka hendaklah ia melihat kepada Ali”.[5]
Golongan
yang fanatik kepada Mu’awiyah membuat pula hadits yang menerangkan keutamaannya.
Mereka mendakwa bahwa Nabi bersabda:
الْاُمَنَاءُ
ثَلَاثَةٌ : اَنَا وَجِبْرِيْلُ وَمُعَاوِيَةُ
“Orang yang kepercayaan hanya
tiga orang saja: Saya, Jibril dan Mu’awiyah”.[6]
b.
Adanya
Kesengajaan dari Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam
Golongan
ini adalah terdiri dari golongan Zindiq yang senantiasa menyimpan dendaam
terhadap agama islam. Mereka tidak mampu melawan kekuatan islam secara terbuka
maka menhambil jalan yang buruk ini. Mereka menciptakan sejumlah besar hadits
maudhu’ dengan tujuan merusak agama islam.
Diantara
hadits yang maudhu’ yang diciptakan oleh orang-orang Zindiq tersebut adalah:
يَنْزِلُ
رَبُّنَا عَشِيَّةً عَلَى جَمَلٍ اَوْ رَقٍ, يُصَافِحُ الرُّكْبَانَ وَيُعَانِقَ
الْمُشَاةَ
“Tuhan kami turun dari langit
pada sore hari, di ‘Arafah dengan berkendaraan unta kelabu, sambil berjabatan
tangan dengan orang-orang yang berkendaraan dan memeluk orang-orang yang sedang
berjalan”.[7]
c.
Mempertahankan
Maszhab
Para
pengikut mazhab fiqih dan pengikut ulama kalam, yang bodoh dan dangkal ilmu
agamanya, membuat pula hadits-hadits palsu untuk menguatkan paham pendirian
imamnya.
Mereka
yang fanatik terhadap mazhab Abu Hanifah yang menganggap tidak sah shalat
mengangkat kedua tangan dikala shalat, membuat hadits maudhu’ sebagai berikut:
مَنْ
رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الصَّلَاةِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ
“Barang siapa menggangkat kedua
tangannya didalam shalat, tidak sah shalatnya”.[8]
d.
Membangkitkan
Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri kepada Allah
Banyak
diantara ulama’ yang mebuat hadits palsu dengan dan bahkan mengira usahanya itu
benar dan merupakan upaya pendekatan diri kepada Allah, serta menjunjung tinggi
agama-Nya. Mereka mengatakan “kami berdosa semata-mata untuk menjunjung tinggi
nama Rasulullah dan bukan sebaliknya”. Nuh bin Abi Maryam telah membuat hadits
berkenaan dengan fadhilah membaca surat-surat tertentu dalam Al-Qur’an. Ghulam
Al-Kahail (dikenal ahli zuhud) membuat hadits tentang keutamaan wirid dengan
maksud memperhalus kalbu manusia.[9]
e.
Menjilat Para
Penguasa Untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah
Ghiyats
ibn Ibrahim pada suatu hari masuk kemahligai Al Mahdi yang sedang menyambung
burung merpati, maka berkatalah ia : Bersabda Nabi :
لَا
سَبَقَ اِلَّا فِيْ نَصْلٍ اَوْ خَفٍّ اَوْ حَافِرٍ اَوْ جَنَاحٍ
“Tidak
sah perlombaan itu, selain mengadu anak panah, mengadu unta, mengadu kuda, atau
mengadu burung”.
Perkataan
yang terakhir ini (au janaahin) adalah tambahan dari Ghiyats itu.[10]
4. Ciri-Ciri Hadits Maudhu’
Para
ulama’ Muhaditsin, disamping membuat kaidah-kaidah untuk mengetahui sahih,
hasan, atau dhaif suatu hadits, mereka juga menentukan ciri-ciri untuk
mengetahui ke-maudhu’-an suatu hadits.
Ke-maudhu’-an
suatu hadits dapat dilihat pada ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.[11]
a.
Ciri-Ciri yang
Terdapat pada Sanad
Banyak
benar tanda-tanda kemaudhu’an hadits pada sanad, dibawah ini kami terangkan
yang penting-penting benar saja.
1) Perawi
itu terkenal berdusta (seorang pendusta) dan tiada diriwayatkan hadits yang ia
riwayatkan itu, oleh selainnya, yang kepercayaan.
2) Pengakuan
perawi sendiri, Abu ‘Ishmah Nuh ibn Abi Maryam mengaku sendiri bahwa ia telah
mewadla’kan hadits mengenai keutamaan surat-surat Al-Qur’an. Dan sebagai akuan
‘Abdul Karim ibn Abil ‘Auja yang mengaku telah membuat 4000 hadits, yang
mengenai hukum halal, haram.[12]
3) Kenyataan
sejarah, mereka tidak mungkin bertemu, misalnya pengakuan dari seorang rawi
bahwa ia menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu
dengan guru tersebut, atau ia lahir sesudah guru tersebut meninggal, misalnya
ketika Ma’mun ibn Ahmad As-Sarawi mengaku bahwa ia menerima hadits dari Hisyam
ibn Amr kepada Ibnu Hibban maka Ibnu Hibban bertanya, “Kapan engkau pergi ke
Syam?”. Ma’mun menjawab, “Pada tahun 250 H”. Mendengar itu, Ibnu Hibban
berkata, “Hisyam meninggal dunia pada tahun 245 H”.
4) Keadaan
rawi dan faktor-faktor yang mendorongnya membuat hadits maudhu’. Misalnya
seperti yang dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim, kala ia berkunjung ke rumah Al
Mahdi yang sedang bermain burung merpati, yang berkata:
لَا
سَبَقَ اِلَّا فِيْ نَصْلٍ اَوْ خَفٍّ اَوْ حَافِرٍ اَوْ جَنَاحٍ
“Tidak sah perlombaan itu, selain mengadu anak panah, mengadu
unta, mengadu kuda, atau mengadu burung”.
Ia menambahkan kata “au
janaahin” (atau mengadu burung), untuk menyenangkan Al Mahdi, lalu Al Mahdi
memberinya sepuluh ribu dirham. Setelah ia berpaling, sang Amir berkata, “Aku
bersaksi bahwa tengkukmu adalah tengkuk pendusta atas nama Rasulullah SAW.”,
lalu ia memerintahkan untuk menyembelih merpati itu. Tingkah laku Ghiyats
semacam ini menjadi qarinah untuk menetapkan kemaudhu’an suatu hadits.[13]
b.
Ciri-Ciri yang
Terdapat pada Matan
Terdapat
banyak pula ciri-ciri hadits maudhu’ yang terdapat dalam matan, diantaranya
sebagai berikut:
1) Buruknya
redaksi hadits, padahal Nabi Muhammad SAW. adalah seorang yang sangat fasih
dalam berbahasa, santun eanak dirasakan. Dari redaksi yang jelek ini akan
berpengaruh kepada makna ataupun maksud dari hadits Nabi SAW. kecuali bila si
perawi menjelaskan bahwa hadits itu benar-benar datang dari Nabi SAW.[14]
2) Maknanya
menyalahi sunah mutawatir, umpamanya hadits
اِذَا
حُدِّثْتُمْ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يُوَافِقَ الْحَقَّ فَخُذُوْا بِهِ, حَدَّثْتُ
بِهِ, اَمْ لَمْ اُحَدِّثْ
“Apabila
diriwayatkan kepadamu suatu hadits yang sesuai dengan kebenaran, ambillah akan
dia, ada aku menerangkannya, ataupun tidak”.
Hadits ini berlawanan
dengan hadits mutawatir:
مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang
siapa berbuat dusta terhadap diriku (mengatakan apa yang tidak aku tidak
mengatakannya), maka hendaklah ia menempati tempat duduknya didalam neraka”.(H.R.
Bukhari Muslim dan lain-lain).[15]
3) Maknanya
bertentangan dengan keterangan Al-Qur’an. Contoh hadits maudhu’ yang maknanya
bertentangan dengan Al-Qur’an adalah hadits
وَلَدُ
الزِّنَا لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ اِلَى سَبْعَةَ اَبْنَاءٍ
“Anak zina itu tidak dapat masuk syurga sampai tujuh turunan”
Makna hadits ini
bertentangan dengan kandungan Q.S. Al-An’am [6]: 164, yaitu:
وَلَا
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ اُخْرَى. (الأنعام: 164 )
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”.
(Q.S. Al-An’am : 164).
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa dosa seorang tidak dapat dibebankan kepada orang
lain, seorang anak sekalipun tidak dapat dibebani dosa orang tuanya.[16]
4) Karena
menyalahi peraturan-peraturan akal terhadap Allah, adakala menetapkan Allah
suci dan serupa dengan makhluk. Lantaran ini, kita hukum kepalsuan hadits:
اِنَّ
اللهَ خَلَقَ الْفَرَسَ فَاَجْرَاهَا فَعَرِقَتْ فَخَلَقَ نَفْسَهَا مِنْهَا
“Sesungguhnya
Allah menjadikan kuda betina, lalu Ia memacukannya. Maka berpeluhlah kuda itu,
lalu Tuhan menjadikan diri-Nya dari kuda itu”.
5) Karena
mengandung dongeng-dongeng yang tidak dibenarkan oleh akal, seperti hadits,
الدِّيْكُ
الْاَبْيَضُ حَبِيْبِيْ وَحَبِيْبُ حَبِيْبِيْ
“Ayam putih kekasihku dan kekasih dari kekasihku Jibril”.[17]
6) Menerangkan
suatu pahala yang sangat besar terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat kecil,
atau siksa yang saangat besar terhadap suatu perbuatan yang kecil.
Contohnya yaitu:
مَنْ
قَالَ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ خَلَقَ اللهُ مِنْ تِلْكَ الْكَلِمَةِ طَائِرًا
لَهُ سَبْعُوْنَ اَلْفِ لُغَةٍ يَسْتَغْفِرُوْنَ لَهُ.
“Barang
siapa mengucapkan tahlil (La ilaha illallah) maka Allah menciptakan dari
kalimat itu seekor burung yang mempunyai 70.000 lisan, dan setiap lisan
mempunyai 70.000 bahasa yang dapat memintakan ampun kepadanya”.[18]
5. Hukum Membuat dan Meriwayatkan Hadits Maudhu’
Orang
yang telah mengetahui bahwa suatu hadits itu maudhu’ (palsu), tiada dibolehkan
sekali-kali ia meriwayatkannya dengan menyandarkan kepada Rasulullah SAW.
kecuali jika ia terangkan kepalsuan hadits tersebut.
Nabi
SAW. bersabda:
مَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang
siapa berbuat dusta terhadap diriku (mengatakan apa yang tidak aku tidak
mengatakannya), maka hendaklah ia menempati tempat duduknya didalam neraka”.(H.R.
Bukhari Muslim dan lain-lain).
Nabi SAW. bersabda
pula:
مَنْ
حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيْثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ, فَهُوَ اَحَدُ الْكَذَّابِيْنَ
"Barang siapa
menceritakan dari padaku sesuatu hadits, padahal ia tahu bahwa itu bukan
haditsku, maka termasuklah ia kedalam orang-orang yang dusta”.(H.R. Muslim dari
Samurah ibn Jundub dan Al Mughierah ibn Syu’bah).[19]
Umat
islam telah sepakat bahwa hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’ dengan
sengaja adalah haram secara muthlaq, bagi mereka yang sudah mengetahui hadits
itu palsu. Adapun bagi mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberitahu
kepada orang bahwa hadits ini adalah palsu (menerangkan sesudah meriwayatkan
atau membacanya), tidak ada dosa atasnya.
Mereka
yang tidak tau sama sekali kemudian meriwayatkannya atau mereka mengamalkan
makna hadits tersebut karena tidak tahu, tidak ada dosa atasnya. Akan tetapi,
sesudah mendapatkan penjelasan bahwa riwayat atau hadits yang diceritakan atau
amalkan itu adalah palsu, hendaklah segera dia tinggalkannya, kalau tetap dia
amalkan, sedangkan dari jalan atau sanad lain tidak ada sama sekali, hukumnya
tidak boleh.[20]
IV.
KESIMPULAN
Hadits maudhu’ adalah bukan hadits yang bersumber
dari Rasul atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu
alasan kemudian dinisbatkan kepada Rasul.
Ada perbedaan pendapat tentang kapan munculnya
hadits maudhu’, yaitu menurut Ahmad Amin, bahwa hadits maudhu’ telah trerjadi
pada masa Rasulullah SAW. masih hidup. Dan menurut Menurut Jumhur
Al-Muhadditsin bahwa pemalsuan hadits itu terjadi pada masa kekhalifahan Ali
ibn Abi Thalib, mereka beralasan bahwa keadaan hadits sejak zaman Nabi hingga
sebelum terjadinya pertentangan antara Ali ibn Abi Thalib dengan mu’’awiyah ibn
Abi Sufyan (w. 60 H/680 M) masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan.
Terdapat
berbagai macam faktor yang menyebabkan hadits maudhu’ ini muncul, antara lain
sebagai berikut:
a. Pertentangan
Politik dalam Soal Pemilihan Khalifah
b. Adanya
Kesengajaan dari Pihak Lain untuk Merusak Ajaran Islam
c. Mempertahankan
Maszhab dalam Masalah Fiqih dan Masalah Kalam
d. Membangkitkan
Gairah Beribadah untuk Mendekatkan Diri kepada Allah
e. Menjilat
Para Penguasa Untuk Mencari Kedudukan atau Hadiah
Ke-maudhu’-an suatu hadits dapat dilihat pada
ciri-ciri yang terdapat pada sanad dan matan.
Adapun
hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’ yaitu Umat islam telah sepakat
bahwa hukum membuat dan meriwayatkan hadits maudhu’ dengan sengaja adalah haram
secara muthlaq, bagi mereka yang sudah mengetahui hadits itu palsu. Adapun bagi
mereka yang meriwayatkan dengan tujuan memberitahu kepada orang bahwa hadits
ini adalah palsu (menerangkan sesudah meriwayatkan atau membacanya), tidak ada
dosa atasnya.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan
mengenai Problem Hadits Maudhu’. Kami sadar dalam penulisan makalah ini banyak
kekurangan dalam hal isi maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah
berikutnya. Semoga makalah ini dapat memberi manfa’at bagi pembacanya umumnya,
khususnya bagi pemakalah. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Suparta, Munzier, Ilmu Hadits,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Sholahudin, M. Agus, Ulumul Hadits, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2011.
Ash Shiddiqy, T.M. Hasbi, Pokok-Pokok
Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta:
Bulan Bintang, 1974.
[1] M. Agus Solahudin, Ulumul
Hadits, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), hal. 171.
[2] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada , 2003), hal. 176-177.
[4] Ibid., hal. 179-180.
[5] T. M. Hasbi Ash Shiddiqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang,1974), hal. 247.
[6] Ibid. hal. 248.
[7] M. Agus Solahudin, Op. Cit.,
hal. 178-179.
[8] Ibid., hal. 180.
[9] Munzier Suparta, Op. Cit.,
hal. 187.
[10] T. M. Hasbi Ash Shiddiqy, Op.
Cit., hal 255
[11] M. Agus Solahudin, Op. Cit.,
hal. 182.
[12] T. M. Hasbi Ash Shiddiqy, Op.
Cit., hal. 237-238.
[13] M. Agus Solahudin, Op. Cit.,
hal. 182.
[14] Munzier Suparta, Op. Cit., hal.
190.
[15] T. M. Hasbi Ash Shiddiqy, Op.
Cit., hal. 242.
[16] M. Agus Solahudin, Op. Cit.,
hal. 185.
[17] T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok
Ilmu Diroyah Hadits (Jilid I),(Jakarta: N. V. Bulan Bintang, 1981), hal.
370.
[18] M. Agus Solahudin, Op. Cit.,
hal. 186.
[19] T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok
Ilmu Diroyah Hadits, Op. Cit., hal. 361-362.
Kembali ke Santri Suwung
Stainless Steel Magnets - titanium arts
BalasHapusIroning the https://septcasino.com/review/merit-casino/ Stainless Steel Magnets 출장안마 (4-Pack). Made in Germany. The dental implants Titanium Arts Stainless Steel Magnets 바카라 사이트 are an alloy made of steel in stainless steel septcasino